Jumat, 06 Mei 2011

Jasa Editing, Ghostwriting, dan Translating

Halo...
Saya ASHARA, mau promosi.
Saya buka jasa editing, yaitu editing novel dan skripsi, utamanya dalam hal penggunaan EYD dan tanda baca. Saya siap mengganti kalimat yang dirasa tidak relevan atau 'kurang'. Saya bahkan membantu riset untuk novel (tapi tidak untuk skripsi). Tarif bisa dinego.

Untuk jasa ghostwriting,sebaiknya lewat email pribadi saya ke ashara0304@gmail.com. Saya menerima segala topik dan tema, tapi yang tidak mengacu pada SARA dan pornografi. Saya juga tidak akan membantu meng-ghostwriting skripsi, KTI, dan tulisan ilmiah lain (^^).

Saya menerima translating dari Inggris-Indonesia sesuai gaya bahasa yang Anda inginkan: pop, resmi, ngasal, etc.

Terima kasih.

The Phantom of The Opera-Don Juan

I have brought you
That our passions may fuse and merge
In your mind you've already succumbed to me, dropped all defenses
Completely succumbed to me Now you are here with me
No second thoughts
You've decided
Decided.


I don't know why, but libertines usually got my attention.. They're not kinda good guy (no, not the brand of Chucky's doll in this context), but they got their own charm...
My favorite libertine is Don Juan. So enchanting, so seducing, so breathtaking. He's my sixth love, at all (after Edward Cullen, Jacob Black, Hannibal Lecter, Sam McGall, and  Captain Jack Sparrow). But I love him more since I watched The Phantom of The Opera. I'm totally amazed on Don Juan's part. So touchy. So dramatic. So theatrical. And so..... lovely. Gerard Butler and Emmy Rossume'd done a great job. I guess I can cry when I listen to Erik's song to Christine: Anywhere you go, let me go too.. 

The Phantom of The Opera: great story, great songs, great artists. Can't say more...
 

Rabu, 04 Mei 2011

OMG! Saya nggak niat maem!

saya sakit... ahiks... sekarang bener2 udah gak pengen maem apa2... bahkan lele bakar pun tidak. Padahal itu makanan favoritku, tapi sumpah gak niat banget maem. Bahkan tidak cokelat ma Soyjoy sekalipun (makanan kesukaan juga). bawaannya mual aja... n walaupun maag kembali melanda, beneran gak niat maem. Alhasil, beratku turun 1 kg... ada berkahnya juga ini sakit...

Temen saya yang bawel, M****e, terus2an bilang, "Makan, Yu! Makan! Force yourself!" Force yourself jidat elo?!! eneg, dudulz! yah, intinya si Marshee (ups. kebongkar. *sengaja.com*) yang kelewatan bawelnya pun nggak bisa maksa saya buat maem. Ada yang tau cara ngembaliin niat makan?? masa saya kudu minum curcuma plus? Nggak banget deh...

feel so... flat.

Hmm... Finally. Setelah tujuh kali kata 'tidak' dan setelah tujuh kali menimbun surat penolakan dan email yang berisi kata 'maaf, kami belum bisa menerbitkan bla3..', novel saya akhirnya bakalan terbit juga.. Sama Diva Press... (thanks buat DIVA yang udah berbaik hati nerbitin novel saya). Tinggal tanda tangan MoU dan udah deh. Cuma oh cuma...

Saya nggak ngerasa luar binasa happy... ini memang cita2 saya dari... er... SMA? Cuma entah kenapa rasanya flaaaat banget. Saya bersyukur-pastinya. Cuma respon diri saya cenderung datar geje gitu. Apa karena keseringan ditolak, ya, jadi ngalamin kematian emosi gitu. Kaya ceritanya Viktor Frankl di Man's Search for Meaning. Ni highly recommended book! Mantep punya!

Sebelum OOT, saya mau say thanks buat semua yang udah dukung saya... :)  makasih banget.. that means a lot for me... You are the best... GBU always

Selasa, 03 Mei 2011

MoU dan MAU

Barrrrruuu aja ngecek email dari DIVA press. Horas, ternyata DIVA ada rencana nerbitin naskah saia (kaga tau udah fix pa baru rencana aja. Naskahnya saya upload di forum lautan indonesia, cuma kayanya gak selaku Red Avalanche saya... (:  readernya baru 25, kalah jauuuh ma Red Avalanche. DIVA, mau nerbitin Red Avalanche saya sekalian?? (manusia gak tau diuntung).
sebenernya pengen jumping2 keliling ruangan, cuman eneg banget gara2 maag n demam. so cuma bisa smile2 geje di kasur, berdoa DIVA gak berubah pikiran.

Anyway, oh, anyway... saya dapet MoU, tapi belum saya baca coz tulisannya kecil2 n buat keleyengan... *hammer ganda*

Anyway oh anyway kembali... saya baru aja liat butik online... n I FALL IN LUPH sama baju polkadot yang sweet banget dengan harga gak kalah sweet (60 ribu aja!)... Ni butik hasil rekomen temen.. (thanks a lot buat Iin).. MAU banget!

Yah, intinya kalo naskah saya jadi terbit beli ya... Beli! Jangan pinjem! Berikan saya kesempatan untuk mencari sedekah dan sesuap uang... ahihihihihihi... Pamit. GBU all...

Senin, 02 Mei 2011

Walks Within The Line... Somehow That's so BORING

Rules. Rules. Rules. Too much rules in this life.
I'm getting bored of it, because... okay. Let's see. Adage which says 'rules are made to be broken' in some condition is truly true.. What kind of rule can be violated if that rule doesn't exist at all??

Sometimes, I just want to do what I want to do. I want to do my own mistakes, I want to get my own enlightenment, I want to live my own life. And everyone who doesn't like my way should get the hell out. My life, my way, my rule.

Suppose that I follow all rules in my life. Suppose that I walk within the line, every time and always. Suppose what kind of life would that be. I'm going to lose my identity. I won't be myself anymore-I'm just a reflection from rules in my life-sometimes unimportant rules from unimportant peoples. We get our own life and the right to live it in our own way-as long as we know the consequence.

And this time, I know the consequence. But I'd rather  to be hated for what I am than be loved for what I'm not. I do my own mistake, I get my own regret, so that I get my own identity. Let's praise your life, especially the way you are! Never let other people take control on your life!

Red Avalanche the 3rd Part (dibuat dengan kondisi mual karena maag)

Hay all... Udah nongol lagi nih, the next partnya. dibaca ya... kasianin pengarangnya yang menderita kaku tangan dan mata panda karena kebanyakan melototin laptop.


Frey Blackenshield’s – Cave in
            Aku berguling resah di tempat tidurku. Sepreiku dengan sekejap menjadi kusut, sekusut pikiranku saat ini. Mataku menatap langit-langit kamarku, sementara pikiranku berkelana pada pembicaraan dengan Arrane tadi.
            Aku setuju dengan Arrane kali ini.
            Memang akan datang masalah. Masalah yang bukan sekedar masalah, melainkan bencana. Bencana bagi kami. Bencana bagi Arkhan. Aku tahu itu. Aku bisa mengendus baunya dan melihat bayangannya samar-samar. Intuisiku belum pernah keliru, dan jelas tidak ada alasan untuk meragukannya kali ini. Namun untuk kali ini saja, aku tidak ingin intuisiku menjadi kenyataan. Maksudku, siapa yang butuh masalah atau bencana tambahan dalam hidup mereka? Mungkin ada, namun yang jelas bukan aku.
            Andai saja aku bisa menebak siapa yang berada di belakang masalah lenyapnya Phobos. Atau apa.
            Sebelum memberitahu Arrane, aku memang sudah menyuruh sekelompok pasukan untuk mencari Phobos. Menurut pasukanku, apa yang terjadi pada Phobos hanyalah soal dendam pribadi padanya―Phobos kadang-kadang agak menyebalkan, sehingga wajar-wajar saja jika ada yang ingin menghabisinya. Aku sendiri juga agak heran kenapa dia bisa bertahan hidup selama itu. Kristal es dan pembunuhan tanpa darah itu memang aneh, namun prajurit-prajurtiku berpendapat bisa saja orang yang membenci Phobos menyewa tukang sihir untuk melakukannya. Bukan hal yang penting. Sesuatu yang terjadi pada Phobos adalah kehendak alam. Semacam pembuktian pepatah ‘lakukan hal yang jahat, maka kau akan menerima hasil yang sama jahatnya dengan perbuatanmu’.
            Namun menurutku tidak begitu. Aku bisa melihat hal lebih besar yang bersembunyi di balik persoalan lenyapnya Phobos, meskipun aku tidak tahu hal besar apa itu. Arrane memang benar bahwa lenyapnya Phobos terkait dengan suatu masalah, namun aku pribadi berpendapat kata ‘masalah’ agak kurang tepat. Intuisiku mengatakan bahwa ‘bencana’ jauh lebih cocok. Dan ketidaktahuan itu menggangguku. Membuatku gatal ingin mencari tahu soal itu, meskipun tidak tahu harus memulai darimana.
            Sesuai instruksi Arrane, aku sudah memeriksa sendiri kristal-kristal es yang kutemukan di kediaman Phobos. Aku bahkan sudah memerintahkan alkemis terbaik Arkhan untuk membantu memeriksa keanehan kristal es itu. Namun hasil yang kami dapatkan nihil, selain fakta bahwa kristal es itu diciptakan oleh seseorang yang menguasai sihir es level atas. Tapi  fakta itu malah membawa kami semakin jauh dari pencerahan―cenderung menjadi penggelapan.
            Faktanya, hanya elf yang menguasai sihir es level atas. Manusia bisa melakukannya, namun hasilnya tak akan sedahsyat itu. Es sihiran elf bersifat permanen dan susah dihancurkan, sementara es sihiran manusia akan meleleh dengan cepat dan rapuh. Dan kristal es yang kutemukan cenderung menyerupai karakteristik es ciptaan elf, jujur saja. Aku sudah meletakkannya di panas terik gurun barat, namun kristal es itu tetap utuh. Dan aku sendiri membutuhkan segenap upaya untuk menghancurkan salah satunya dengan  martil.
            Fakta itu, ditambah dengan fakta bahwa hanya elf-lah yang bisa melakukan sihir es level atas, telah mengarahkanku pada sebuah kesimpulan: siapa pun yang menculik Phobos dan membantai pengawalnya berasal dari kaum elf.
            Kesimpulan bagus, andai saja tidak dihalangi oleh fakta mutlak ketiga: elf adalah kaum cinta damai yang tidak pernah membunuh makhluk hidup mana pun, kecuali tumbuh-tumbuhan. Dan ini berlaku bagi semua elf, tanpa pengecualian. Lagipula, apa motif mereka menculik Phobos dan membunuhi pengawalnya? Demi beberapa karat intan dan segerobak gundik Phobos? Gila. Asumsi tertolol yang pernah diciptakan. Selain itu, memangnya Phobos pernah berurusan dengan elf? Kurasa tidak. Hidup Phobos hanya berkisar pada perang, gundik, dan intan-intan koleksinya. Elf tidak termasuk dalam tiga kategori itu.
            Lalu, jika bukan elf, siapa yang melakukannya? Atau bahkan apa?
            Aku memikirkan asumsi-asumsi lain, yang semakin lama semakin tolol dan tidak masuk akal. Solusi dan pencerahan semakin lama terasa semakin jauh, sehingga aku mendesah frustasi dan memutuskan untuk berhenti berpikir sejenak. Berpikir adalah keahlian Arrane, bukan aku. Aku tidak suka memikirkan masalah yang tidak jelas ujung pangkalnya selama berjam-jam, tidak seperti Arrane yang sudah menjadikannya sebagai hobi. Aku dan Arrane memang kembar, namun agak menakjubkan melihat betapa berbedanya kami, utamanya dalam hal pola pikir. Tapi sudahlah. Aku adalah aku, Arrane adalah Arrane. Lagipula, jika semua orang menjadi pemikir, lantas siapa yang menjadi pelaksana?
            Pikiranku sedang berkelana tidak pasti―antara memikirkan soal lenyapnya Phobos dan pemikiran sinting yang mengandaikan aku dan Arrane bertukar karakter―ketika muncul ketukan samar di pintu kamarku.
            “Masuk saja,” perintahku.
            Rupanya yang datang adalah seorang dayang-dayang perempuan yang sudah uzur. Dia menyampaikan pesan padaku dengan suara bergetar.
            “Pangeran Frey, Putri Ashera dari Amacus ingin bertemu dengan Anda... Sang putri menunggu di taman.”
            “Suruh dia masuk... eh... tidak. Tunggu. Biar aku saja yang mencarinya sendiri. Silakan beristirahat, Ibu Zhelma,” kataku pada si dayang-dayang tua, tidak tega menyuruh-nyuruhnya lebih lanjut.
            “Baik, Pangeran,” Ibu Zhelma membungkuk padaku. Aku mengikutinya keluar kamar, lalu bergegas menuju taman di luar paviliunku. Taman itu tidak begitu besar namun ditata dengan indah. Bunga-bunga cantik dengan kelopak berwarna-warni tumbuh mengelompok di kaki cemara dan pinus. Hamparan aster terlihat menyembul di antara rerumputan hijau yang subur. Beberapa batu besar dengan bentuk yang dipilih menyerupai kursi diletakkan acak di taman,  di bawah keteduhan cemara atau willow. Di salah satu kursi batu tersebut, duduk Putri Ashera dari Amacus. Dia duduk dengan pose kaku yang anggun―kedua tangan terlipat di atas pangkuan dan punggung tegak sempurna. Wajahnya hampa dan tanpa ekspresi―lebih menyerupai topeng cantik daripada wajah manusia.
            “Selamat sore, Putri,” sapaku pada Ashera. Aku berencana akan memulangkannya ke Amacus besok―toh Arrane sudah menegaskan bahwa dia tidak tertarik sama sekali pada sang putri, walaupun Arrane belum pernah bertemu Ashera sekalipun sejak gadis itu tiba disini.
            Ashera mendongak. Wajah cantiknya yang sebelumnya tampak mati mendadak menjadi lebih manusiawi.
            “Pangeran Frey,” Ashera bangkit berdiri dan memberi hormat dengan membungkuk sedikit. “Senang Anda mau berjumpa dengan saya.”
            “Tidak usah formal begitu,” aku mengibaskan tangan cepat. “Panggil Frey saja, dan aku akan memanggilmu Ashera. Setuju?”
            “Baiklah,” Ashera mengangguk.
            “Bagus. Lalu, apa yang mau kau bicarakan denganku, Ashera?”
            Untuk pertama kalinya, sebentuk emosi nyata muncul di wajah Ashera. Emosi kalut dengan intensitas tinggi. Emosi itu tampak jelas terukir di wajahnya yang pucat dan terpancar dari mata birunya yang besar. Ketika menjawab, suara Ashera agak bergetar. “Ini soal hilangnya Phobos Eudebios, kepala pertahanan Andelamir. Aku tidak bermaksud menguping, namun tanpa sengaja aku mendengar dayang-dayang di kediamanku membicarakannya. Dari cerita mereka, Phobos Eudebios lenyap begitu saja di kediamannya, dan satu-satunya bukti yang ditemukan disana adalah kristal es.”
            “Dayang-dayang disini gemar bergosip, rupanya. Kurasa aku harus memperingatkan mereka agar lebih rapat menutup mulut. Tapi aku tidak menyalahkan mereka―berita ini sudah terlanjur bocor ke khalayak,” ujarku, lebih pada diri sendiri daripada pada Ashera. “Lalu, apa yang ingin kau bicarakan? Kau ingin bertanya soal Phobos?”
            “Tidak,  tapi aku ingin memberitahu,” tegas Ashera. “Tanpa bermaksud sok pintar atau apa, namun dulu aku pernah melihat kejadian yang serupa dengan ini. Terjadinya di Amacus. Saat itu kerajaan sedang...”
            “Tunggu,” aku segera menghentikan ucapan Ashera. “Jika informasinya sepenting itu, maka kita harus berdiskusi dengan kakakku juga. Arrane biasanya jeli melihat detail yang terlewat olehku. Dia harus ikut mendengar ceritamu juga.”
            Ashera segera saja tampak ngeri―hilang sudah topeng tanpa ekspresi yang tadi dikenakannya. “Tidak... tidak usah. Pangeran Arrane sudah menegaskan dengan jelas bahwa dia tidak mau bertemu denganku dan...”
            “Dan dia harus,” potongku sekali lagi. “Arrane harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ayo, Ashera. Kubawa kau ke kediaman Arrane.”
            Ashera tampak enggan, namun akhirnya mengangguk setuju di bawah tatapan memaksaku. Bersama, kami berjalan ke kediaman Arrane yang terletak di istana utama...

***

Minggu, 01 Mei 2011

Me, Myself, and Ashara

ASHARA is my nickname. That comes from A-yu S(H)A-raswati RA-madhany. See? Jadi sebenernya itu gak ada arti khususnya, cuma anagram aja...

Tapi ternyata setelah dicek, artinya aneh2. Ada yang terkait sama al-Qaeda, lah (serius. padahal aku nggak ada sangkut pautnya sama sekali ma itu organisasi geje), ada yang terkait sama merk jilbab, n ada yang terkait sama vampire legend.
What a coincidence! I love vampire, and all stuff about it!

Ternyata Ashara itu nama semacem 'ibu' dari Lycan n vampire. Konon Ashara adalah the oldest and strongest being to ever walk the face of the earth. <grin> How cool it is!
Yah, kuharap aku juga bisa jadi kaya arti nama pengarangku - strongest being to ever walk the face of the earth. But a little weak girl like me? Hmmm.. maybe not now. I have to grow myself stronger... :D

Anyway, do you enjoy read my novel?? Hope you like it. Liat terus perkembangannya di blog ini atau di forum penulis di Lautan Indonesia, a.n (cuplikan novel): Red Avalanche...http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=88933.0

Red Avalanche the 2nd Part

Crystal Whitelight’s – Snow White Queen
             Aku memandang mahakaryaku dengan serius, meninjaunya dari berbagai sudut untuk mencari cacat celanya. Sejurus kemudian, ketika tidak menemukan apa yang kucari, senyuman puas mengembang di bibirku. Sempurna. Benar-benar sempurna.
            Mahakaryaku adalah sesosok laki-laki gemuk separo baya yang membeku dalam es abadi, yang kuculik dengan mudah dari bawah perlindungan pengawal-pengawal lemahnya. Sudut-sudut es abadi tersebut―yang sudah kupahat dengan luar biasa sempurna sehingga konturnya menyerupai manusia di dalamnya―memantulkan tujuh warna pelangi saat diterpa cahaya matahari. Ekspresi ketakutan dan shyok yang terpatri di wajah laki-laki itu menambah nilai estetik maha karyaku.
            Lelaki ini belum mati. Dia masih hidup, namun kukurung begitu saja dalam esku. Tak ada yang bisa mengeluarkannya dari penjara esku yang melapisi badannya, kecuali aku sendiri. Jika ada yang nekat mencoba memecahkan esnya, maka yakinlah bahwa tubuh lelaki ini akan ikut hancur bersama esku. Dan jika ada yang bertanya kapan aku akan mengeluarkannya dari es, maka jawabannya adalah ketika aku sudah membalaskan dendamku. Agar lelaki itu bisa merasakan sakitnya hidup di dunianya yang sudah kuhancurkan, sama seperti ketika ia menghancurkan hidupku dulu.
            “Masih kurang, masih kurang,” dendangku, lalu mengatur posisi ‘patung’ esku dengan sempurna. “Terasa agak sepi jika hanya kau sendiri yang menghiasi kabinku. Aku butuh ‘patung-patung’ lain... Siapa giliran berikutnya? Sang raja tua? Atau pangeran kembar mereka? Siapa? Siapa?” aku bergumam sendiri. Namun aku tidak sempat membuat keputusan karena mendadak saja pintu kabinku yang terbuat dari es diketuk dengan alat pengetuk khusus yang menimbulkan bunyi berdenting yang khas.
            “Nona Crystal! Claudanum menghadap!”
            “Masuklah, Claudanum,” perintahku.
            Pintu kabinku mengayun terbuka, lalu menampakkan sosok lelaki tegap berambut botak yang memakai mantel bulu Rhowan―hewan buas padang es dengan bulu tebal hitam sehalus kapas. Rhowan sendiri sulit dibunuh karena memiliki delapan cakar mengerikan dan dua taring panjang, sehingga bisa dibayangkan seberapa tangguh Claudanum yang sudah berhasil menghabisi dan mengulitinya.
            “Lapor, Nona!” Claudanum membungkuk. “Kapal bajak laut Zhaer sudah kami taklukkan! Harta mereka dirampas, dan seluruh awak kapal yang masih hidup kami jadikan budak!”
            “Bagaimana dengan persenjataannya?”
            “Sudah dirampas juga. Sekarang kita memiliki dua meriam tambahan dan satu armada kapal lengkap dengan pelontar mesiu.”
            Aku bersiul kagum. “Hebat sekali! Dengan modal itu, kita siap menaklukkan kapal-kapal bajak laut lain dan menjadi penguasa lautan! Callisto akan menjadi satu-satunya kapal yang berkuasa, dan barang siapa yang mencoba melawan kita akan mati. Ya. M-A-T-I,” aku terkikik. “Arkhan boleh memiliki seluruh daratan, namun kita akan menjadi penguasa lautan. Jika saat itu sudah tiba, mungkin kita kelak bisa menguasai daratan juga. Hmmm...”
            “Lalu kapan Callisto diberangkatkan, Nona? Kapal bajak laut Tarvala menunggu untuk ditaklukkan.”
            “Segera... secepat mungkin. Namun sebaiknya kita merapat dulu sebentar ke Icelandish. Mengambil logistik dan lainnya...,” aku berkata dengan nada melamun. “Namun kurasa aku akan tetap berada di Icelandish, tidak ikut dalam aksi penaklukan kali ini. Semua wewenang terkait Callisto kuserahkan padamu, Claudanum. Ada hal lain yang harus kuurus...”
            “Nona tidak ikut?” Claudanum bertanya kaget.
            “Ya. Aku harus... melakukan sesuatu. Sudah dimulai, Claudanum. Aku harus menuntaskan apa  yang sudah kumulai,” aku mengedikkan kepala pada ‘patung’ es di pojok kabinku. Claudanum tidak mengerti maksudku, namun seperti biasa dia mengangguk patuh sebelum melangkah keluar dari kabinku. Begitu Claudanum pergi, aku segera menghenyakkan diri di lantai kabinku yang terbuat dari es, memulai perenungan rutinku terhadap nasib yang seakan menghianatiku.
            Aku, Crystal Whitelight, adalah seorang perompak sekaligus penjarah. Kapalku, Callisto, adalah murni buatanku. Mahakaryaku yang lain. Tidak seperti kapal-kapal perompak lain, Callisto tidak terbuat dari kayu. Seluruh bagiannya, mulai dari geladak hingga lambung kapal, terbuat dari es yang mengkristal. Meskipun terbuat dari es, kapalku tidak akan pernah mencair, tidak licin, dan tidak dingin. Esnya adalah hasil dari sihirku sendiri, sehingga tekstur dan suhunya bisa kusesuaikan sesuka hatiku. Satu-satunya bagian kapal yang tidak terbuat dari es adalah layarnya―layar Callisto masih terbuat dari kain, dengan simbol dua belati yang bersilangan.
            Callisto sendiri memiliki persenjataan lengkap. Secara khusus, aku sudah mendesain pelontar balok es yang menggantikan pelontar batu biasa, penembak serpihan es yang terbukti efektif membunuh awak kapal lawan, serta meriam dengan selongsong es, yang mana fungsinya tak jauh berbeda dengan meriam biasa. Callisto adalah kebanggaanku, mahakarya yang kuciptakan dengan sihir esku.
            Selain kapal, perbedaan utama para perompak Callisto dengan perompak-perompak lain adalah kami memiliki markas di darat, yaitu di padang salju Icelandish di Dataran Utara. Icelandish kupilih sebagai markas karena, meskipun tandus, tempat itu luas dan tidak terjamah oleh pasukan militer kerajaan mana pun. Pernah sepleton pasukan dari Amacus―kerajaan kecil yang berada di batas antara Dataran Selatan dan Dataran Utara―mencoba mengambil alih Icelandish. Namun para pasukan itu tak pernah kembali. Mereka menjadi salah satu dari patung es koleksiku yang kuletakkan dengan artistik di perbatasan Icelandish. Sejak saat itu, tak ada lagi kerajaan di perbatasan maupun di utara yang berani mencoba mengusik Icelandish―kerajaan-kerajaan di selatan sendiri letaknya terlalu jauh dari Icelandish, sehingga kami bisa dikatakan aman total.
            Namun, menjadi perompak bukanlah profesi yang sudah kutekuni sejak dulu. Bukan pula sesuatu yang menjadi jalan hidup sejatiku. Semua kenistaan ini... ini bukanlah sesuatu yang memang ditakdirkan untukku. Dulu sekali, di suatu masa, aku pernah memiliki kehidupan yang lebih baik. Namun, orang-orang dalam hidupku yang sempurna itu membuangku dan mendepakku demi alasan egois mereka. Sudah delapan tahun berlalu sejak aku dibuang, dan sudah terlalu lama aku menunda-nunda aksi pembalasanku.
            Aku yang dulu adalah... sudahlah. Itu masa lalu. Meratapinya tak akan mengubah apa-apa. Intinya, aku menjadi perompak hanya karena inilah profesi yang sanggup membantuku mencapai tujuan utamaku. Batu loncatan terbaik yang kumiliki untuk mengumpulkan persenjataan dan armada yang dapat memuluskan misiku.
            Balas dendam.
            Itulah tujuanku.
            Beberapa orang mengatakan bahwa membalas dendam tak akan menghasilkan apa pun. Membalas dendam hanya mampu melegakan emosi negatif yang ada di hati seseorang, selama beberapa saat, namun tidak benar-benar bisa menuntaskannya. Namun aku tidak peduli. Tahu apa orang-orang itu tentang emosi negatif yang terbenam dalam hatiku? Tahu apa mereka tentang intensitasnya... seberapa besar tekanan yang ditimbulkan oleh dendam menggelegak ini di dalam hidupku? Tidak ada yang tahu. Yang tahu hanya orang yang mengalaminya. Hanya aku semata.
            Sekalipun orang-orang itu ternyata benar... bahwa emosi negatif itu tak akan pernah bisa dituntaskan dengan membalas dendam... aku tak akan peduli. Aku butuh apa pun yang sanggup melepaskanku dari rasa sakit dan amarah yang sudah bercokol di hatiku selama delapan tahun terakhir, meskipun hal itu ternyata hanya merupakan pelegaan sementara saja. Rasanya terlalu sakit... terlalu menyiksa untuk tetap menanggungnya tanpa sekali pun berusaha melegakannya.
            Aku sudah kehilangan semua milikku dan jangan salahkan aku jika mencoba merebutnya kembali.
            Itulah satu-satunya alasan yang kujadikan pembenaran atas semua tindakanku. Agar semua kegilaan yang kulakukan sampai sejauh ini terasa masuk akal. Agar semua kekejamanku terasa sedikit manusiawi.
            Hidupku berubah menjadi sebegini keras, dan aku harus mengerasinya balik untuk tetap bertahan.
            Karena hanya dengan cara itulah aku bisa tetap hidup. Membunuh atau dibunuh, menyiksa atau disiksa. Untuk keduanya, aku lebih baik memegang opsi pertama.

***

Red Avalanche the 1st Part


Red Avalanche

By ASHARA

PROLOG-FALL FOR YOU
            Waktu berpacu dengan cepat. Setiap detiknya terasa seperti diseret paksa―berat namun tetap berdetak.
            Tinggal satu jam lagi.
            Aku harus mengambil keputusan.
            Antara membiarkan pembunuh sekaligus penipu itu mati dipenggal, atau menolongnya dengan mengorbankan segala milikku.
            Keputusan, keputusan, keputusan.
            Cinta dan tanggung jawab.
            Memilih satu di antaranya tidak pernah mudah―ibaratnya seperti disuruh memilih untuk memotong kaki kiri atau kaki kananmu.
            Namun aku harus memilih. Aku tidak bisa menghindar, karena inilah bagian dari takdirku.
            Aku mendesah frustasi sekali, lalu membuka jendela kamarku lebar-lebar, membiarkan angin meniup habis dan menerbangkan semua keraguanku.

***

PROLOG-LAST TIME
            Waktu  memburuku.
            Aku bisa merasakannya meraupkan aroma kematian ke wajahku.
            Menurut perhitunganku, paling tidak aku hanya akan bertahan hidup selama sejam lagi. Setelah itu aku akan dihukum mati.
            Aku memang bukan orang yang baik―martir dengan hati seputih kapas yang terbebas dari segala bentuk dosa. Aku hanya manusia biasa, yang melakukan banyak kesalahan tak terhitung dalam delapan belas tahun hidupku yang singkat.
            Namun, bukan kesalahan yang kulakukanlah yang membuatku dihukum penggal hari ini. Hal itu, jujur saja, melukaiku sedalam-dalamnya, meskipun aku tahu hukuman mati cukup layak untukku. Namun bukan karena alasan ini, yang semata hanya fitnah belaka.
            Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menyelamatkan diriku sendiri sebelum aku mati sia-sia atas tuduhan kejahatan yang tak pernah kulakukan? Atau haruskah aku menerima kematianku, agar orang yang kucintai puas? Darahku dan napasku akan sanggup menghapus luka hatinya. Meskipun untuk itu aku harus membayarnya dengan nyawaku.

***

Arrane Blackenshield’s – Clairvoyance Disease
          “Bagaimana perkembangan Floravia?” tanyaku, masih menatap peta raksasa dengan tebaran simbol rumit dan aneka warna yang terbentang rapi di atas meja kerjaku.
            “Sudah rata dengan tanah,” Frey menjawab santai sambil menguap.
            “Hmm,” gumamku datar, lalu mencoret nama ‘Floravia’ dari peta dan menggantinya dengan ‘Arkhan’. “Soal Tarvius?”
            “Mereka menyerah. Upeti berupa berlian dan mutiara terbaik dari kerajaan itu akan dikirim pada kita setiap bulannya sebagai tanda damai,” Frey sekali lagi menguap. Kentara sekali adik kembarku itu tampak bosan.
            Satu lagi coretan di peta. Satu lagi tambahan tulisan ‘Arkhan’. Tulisan itu sebenarnya sudah mendominasi Dataran Selatan. Hanya tinggal masalah waktu sebelum seluruh Dataran Selatan berada di bawah kekuasaan Arkhan. Para kerajaan pemberontak itu sudah kami taklukkan dengan mudah. Siapa mereka? Sekuat apa mereka sehingga berani-beraninya menantang macan bersayap?
            Aku baru saja akan bertanya tentang daerah lain yang sudah berhasil ditaklukkan oleh Frey, ketika dia mendadak melompat berdiri dari kursi goyangnya dan menggulung peta di hadapanku dengan sekali sentak.
            “Hei...”
            “Cukup membaca petanya, Arrane!” Frey memelototiku galak. “Otakmu bisa keriting jika kau terus menerus memikirkan hal rumit macam ini! Istirahatlah sesekali. Arkhan tidak akan dilanda kiamat jika kau duduk bersantai selama sejam.”
            Aku mendesah, tahu protesku tak akan mampu menembus kekeraskepalaan Frey. Jika ada satu hal yang ia warisi dari ayah kami selain kemampuan militer, maka itu adalah kepala baja lapis platina yang tak tertembus protes dan nasihat macam apa pun.
            “Baik. Aku bersantai. Kau puas?” aku menggertakkan gigi, lalu menghempaskan diriku di kursi di depannya dengan lengan bersidekap. “Tapi harusnya kau sadar, Frey. Berpikir itu perlu. Aku perencana, sementara kau pelaksana. Aku memakai otakku, dan kau memakai ototmu. Sepertinya itu adil.”
            “Sangat,” Frey mengangguk setuju. “Namun aku tidak gila kerja sepertimu. Aku tahu kapan harus berhenti. Aku tahu bagaimana cara menikmati hidup.”
            Aku mengangkat bahu, tidak menemukan bantahan yang sesuai untuk pernyataan Frey karena memang tidak memilikinya. Pernyataan itu memang kebenaran. Aku memang terlalu... serius. Kurasa itu kata yang tepat. Aku adalah tipe orang yang menganggap beristirahat sejenak adalah dosa besar dan sulit melewatkan waktu dengan tenang tanpa mengantisipasi apa yang kiranya terjadi di masa depan. Aku bukan pencemas... sama sekali bukan. Lebih tepat jika disebut sebagai orang dengan persiapan matang... kadang malah terlalu matang.
            Sementara Frey... dia berbeda seratus delapan puluh derajat denganku. Motto khas Frey adalah ‘kesusahan sehari cukup untuk sehari’―intinya, kita tidak usah mencemaskan apa pun yang belum terjadi. Nanti saja dipikirkan jika sudah terjadi. Bukannya gegabah, Frey hanya... santai. Kelewat santai, mungkin. Dia pemberani dan intuitif, namun tidak tolol. Frey bukannya tidak bisa berpikir―dia bisa menggunakan otaknya sama baik denganku, namun lebih suka menggunakan ototnya. Sama sepertiku, hanya saja berkebalikan.
            Dari segi karakter, kami memang berbeda meskipun kembar. Namun karakter kami saling menyeimbangkan dan saling melengkapi. Kelebihanku menutupi kekurangan Frey, begitu pula sebaliknya. Frey memberiku keberanian mengambil keputusan sulit, sementara aku menjadi remnya dikala dia terlalu bersemangat melakukan sesuatu. Kematangan pikiran digabung intuisi sempurna. Perencanaan terperinci dengan improvisasi terbaik dikala dibutuhkan. Kewaspadaan bercampur keberanian. Strategi hebat dengan pelaksanaan luar biasa. Semua itu―kombinasi kelebihanku dan Frey―telah berhasil membawa Arkhan sebagai salah satu kerajaan dengan cakupan wilayah terluas di Dunedain.
            “Cukup bicara soal politik, militer, dan hal-hal lain yang membosankan,” Frey mencondongkan tubuh ke depan dengan nada mengajak mengobrol. Meskipun kami jarang bertemu karena tugas masing-masing―aku di belakang meja sementara Frey bergerak di lapangan―aku dan Frey tergolong akrab. Kami biasanya meluangkan waktu berburu bersama atau sejenisnya untuk tetap menjaga hubungan baik. Bagaimanapun, setelah ayahku menjadi sakit-sakitan dan ibuku meninggal dunia, hanya Frey-lah keluarga yang kumiliki. Adikku satu-satunya yang paling berharga. “Aku ingin bertanya pendapatmu soal Putri Ashera dari Amacus―kerajaan itu pasti sudah benar-benar tunduk pada kita, sampai mau-maunya menyerahkan tuan puteri mereka pada kita sebagai upeti. Kau menyukainya, Arrane? Kau akan menikahinya? Dari yang kudengar dia pintar bermain harpa... Juga cukup cantik, kurasa.”
            “Untukmu sajalah, jika kau memang menyanjungnya setinggi langit seperti itu,” sinisku. “Aku  tidak berniat menikahinya. Dan jika kau juga tidak mau, maka sebaiknya kita pulangkan dia ke Amacus.”
            Frey memutar bola mata. “Aku sudah membawakanmu puluhan putri cantik dari kerajaan berbeda, namun kau tak pernah tertarik pada seorang pun di antara mereka. Tidak bisa begini terus, Arrane. Kau calon raja Arkhan. Kau tidak mungkin tidak memiliki pendamping.”
            “Memangnya kau bukan?” tanyaku, semakin lama semakin sinis. “Kau juga calon raja, Frey. Sesuai kesepakatan kita, kita akan memerintah bersama. Arkhan akan memiliki dua raja, yang berarti kau pun harus mencari pendamping, sama sepertiku. Aku tidak ingin menikah jika kau tidak menikah duluan.”
            Frey mendengus. “Seakan kesepakatan itu akan berjalan saja. Para penasihat kerajaan tak akan menyetujuinya. Mereka pasti akan mengatakan bahwa mustahil menggerakkan satu tubuh dengan dua otak―sama mustahilnya dengan memimpin satu kerajaan dengan dua raja. Dan para penasihat itu adalah orang-orang berpengalaman di bidangnya. Semua sudah memperoleh penghargaan dan medali tersendiri...”
            “Yang meresmikan ketololan mereka,” tambahku kalem. “Sudahlah, Frey. Sekarang kau yang harus bersantai. Sejak kapan kau membiarkan urusan birokratis konyol macam itu meracunimu? Kau bahkan tak peduli pada peraturan istana. Kuberitahu. Jika kau atau aku memerintah sendiri, maka Arkhan tak akan bertahan lama. Kerajaan ini butuh keseimbangan. Bukan sekedar otot atau otak saja, namun keduanya. Asas kesetaraan. Paham?”
            “Paham, Yang Mulia,” sindir Frey, namun kali ini sambil tertawa. “Aku tak menyangka kau benar-benar memegang teguh janji masa kecil kita.”
            Aku mengangguk khidmat. “Sebenarnya itu adalah bagian dari kebodohan dan kecerobohan masa mudaku. Namun janji adalah janji, dan aku senang pernah membuat janji seperti itu.”
            Frey tertawa lagi, dan tanpa harus bertukar kata, kami sama-sama tahu bahwa yang ada di otak masing-masing adalah pikiran tentang janji masa kecil kami... Janji yang menjadi perekat dan penghubung kami, tak peduli seberapa jauh pun jarak yang membentang di antara kami.
            Kami akan selalu bersama-sama. Tangan dan kepala. Hati dan jantung. Tak ada yang mengungguli satu sama lain, tak ada yang berusaha saling menguasai. Kami adalah saudara, dan akan tetap seperti itu untuk selamanya. Kami akan saling menjaga, saling percaya, dan menganggap satu sama lain setara.
            Itulah janji kami.
            Tidak diucapkan dengan kalimat sebagus itu―dulu lebih kacau dan terdengar mirip sebuah lagu aneh tentang betapa kau menyayangi saudaramu. Namun, kami merevisinya bersama saat tumbuh remaja, dan jadilah seperti itu. Meskipun berawal dari janji masa kecil yang naif dan kekanakan, aku dan Frey sama-sama memegangnya dengan teguh. Karena itulah aku tidak mau menjadi raja sendirian, meskipun dilihat dari segi  usia―yang lebih tua semenit―secara notabene akulah yang berhak memegang tampuk kekuasaan. Namun aku tidak mau, karena itu akan menghapus aspek setara di antara kami. Lebih baik aku tidak usah bertakhta sekalian dibandingkan menjadi raja seorang diri―melanggar semua janjiku pada Frey dengan meletakkan status raja di dalam hubungan kami.
            “Oh, ya,” Frey tiba-tiba memotong lamunanku dengan berbicara dengan nada serius―membuatku kaget karena ‘serius’ bukanlah gaya khas Frey. “Sudahkah kau mendengar tentang  kasus hilangnya kepala pertahanan Andelamir―salah satu kerajaan taklukkan kita?”
            “Kepala pertahanan Andelamir? Phobos Eudebios?” tanyaku memastikan. Aku baru mendengar soal ini sekarang. Phobos sendiri, selain berperan sebagai kepala pertahanan Andelamir, juga merupakan penasihat ayahku ketika masih aktif memerintah Arkhan.
            “Ya. Kejadiannya baru tadi pagi. Aku lupa memberitahukannya padamu tadi. Phobos menghilang, Arrane. Dia lenyap dengan misterius di kediamannya. Semua pengawal kediamannya ditemukan mati dengan leher terpenggal, meskipun tanpa darah setitik pun.”
            “Tanpa darah?” ulangku kaget. “Bagaimana bisa? Jika kau memotong leher seseorang, maka darahnya pasti akan bercucuran karena secara biologis...”
            “Aku tahu, aku tahu,” Frey buru-buru memotong. “Bagaimanapun aku sudah cukup sering memenggal leher lawan-lawan Arkhan, dan belum pernah melakukannya dengan bersih tanpa darah sedikit pun. Namun itulah kenyataannya. Aku pun tak akan percaya jika tidak melihatnya sendiri, Arrane. Seakan darah mereka langsung dibuat membeku begitu kepala mereka terpisah dari tubuh. Dan itu baru satu segi anehnya.”
            “Memangnya masih ada segi aneh lain?”  
            Frey mengangguk, lalu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan beberapa kristal es yang berkilau indah diterpa cahaya matahari. Dilemparkannya kristal es itu ke meja dengan kasar, menimbulkan bunyi berkelotak keras. Meskipun lemparan Frey cukup kasar, kristal-kristal es itu tidak pecah atau lecet barang sedikit pun.
            “Kristal es ini ada di kediaman Phobos. Aku menemukannya tadi pagi, memenuhi kamar tidurnya sehingga menyerupai gua kristal. Aku membawanya beberapa untuk kutunjukkan padamu.”
            Segera saja, otakku menangkap sesuatu yang ganjil pada perkataan Frey. “Kau bilang tadi pagi? Bagaimana bisa kristal-kristal es itu bisa bertahan tidak cair di cuaca Arkhan yang sepanas ini?”
            Frey mengangkat bahu. Sorot bingung di matanya terefleksi pula di mataku. “Sama seperti keanehan pertama, aku pun tidak memiliki penjelasan logis untuk keanehan kedua ini.”
            Aku menggigit bibir. “Lebih baik kita tuntaskan masalah ini secepatnya, Frey. Kerahkan satu pasukan elite terbaik untuk mencari Phobos, lalu selidiki soal kristal-kristal es ini. Entah kenapa aku mendeteksi adanya masalah.”
           
***