Minggu, 01 Mei 2011

Red Avalanche the 1st Part


Red Avalanche

By ASHARA

PROLOG-FALL FOR YOU
            Waktu berpacu dengan cepat. Setiap detiknya terasa seperti diseret paksa―berat namun tetap berdetak.
            Tinggal satu jam lagi.
            Aku harus mengambil keputusan.
            Antara membiarkan pembunuh sekaligus penipu itu mati dipenggal, atau menolongnya dengan mengorbankan segala milikku.
            Keputusan, keputusan, keputusan.
            Cinta dan tanggung jawab.
            Memilih satu di antaranya tidak pernah mudah―ibaratnya seperti disuruh memilih untuk memotong kaki kiri atau kaki kananmu.
            Namun aku harus memilih. Aku tidak bisa menghindar, karena inilah bagian dari takdirku.
            Aku mendesah frustasi sekali, lalu membuka jendela kamarku lebar-lebar, membiarkan angin meniup habis dan menerbangkan semua keraguanku.

***

PROLOG-LAST TIME
            Waktu  memburuku.
            Aku bisa merasakannya meraupkan aroma kematian ke wajahku.
            Menurut perhitunganku, paling tidak aku hanya akan bertahan hidup selama sejam lagi. Setelah itu aku akan dihukum mati.
            Aku memang bukan orang yang baik―martir dengan hati seputih kapas yang terbebas dari segala bentuk dosa. Aku hanya manusia biasa, yang melakukan banyak kesalahan tak terhitung dalam delapan belas tahun hidupku yang singkat.
            Namun, bukan kesalahan yang kulakukanlah yang membuatku dihukum penggal hari ini. Hal itu, jujur saja, melukaiku sedalam-dalamnya, meskipun aku tahu hukuman mati cukup layak untukku. Namun bukan karena alasan ini, yang semata hanya fitnah belaka.
            Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menyelamatkan diriku sendiri sebelum aku mati sia-sia atas tuduhan kejahatan yang tak pernah kulakukan? Atau haruskah aku menerima kematianku, agar orang yang kucintai puas? Darahku dan napasku akan sanggup menghapus luka hatinya. Meskipun untuk itu aku harus membayarnya dengan nyawaku.

***

Arrane Blackenshield’s – Clairvoyance Disease
          “Bagaimana perkembangan Floravia?” tanyaku, masih menatap peta raksasa dengan tebaran simbol rumit dan aneka warna yang terbentang rapi di atas meja kerjaku.
            “Sudah rata dengan tanah,” Frey menjawab santai sambil menguap.
            “Hmm,” gumamku datar, lalu mencoret nama ‘Floravia’ dari peta dan menggantinya dengan ‘Arkhan’. “Soal Tarvius?”
            “Mereka menyerah. Upeti berupa berlian dan mutiara terbaik dari kerajaan itu akan dikirim pada kita setiap bulannya sebagai tanda damai,” Frey sekali lagi menguap. Kentara sekali adik kembarku itu tampak bosan.
            Satu lagi coretan di peta. Satu lagi tambahan tulisan ‘Arkhan’. Tulisan itu sebenarnya sudah mendominasi Dataran Selatan. Hanya tinggal masalah waktu sebelum seluruh Dataran Selatan berada di bawah kekuasaan Arkhan. Para kerajaan pemberontak itu sudah kami taklukkan dengan mudah. Siapa mereka? Sekuat apa mereka sehingga berani-beraninya menantang macan bersayap?
            Aku baru saja akan bertanya tentang daerah lain yang sudah berhasil ditaklukkan oleh Frey, ketika dia mendadak melompat berdiri dari kursi goyangnya dan menggulung peta di hadapanku dengan sekali sentak.
            “Hei...”
            “Cukup membaca petanya, Arrane!” Frey memelototiku galak. “Otakmu bisa keriting jika kau terus menerus memikirkan hal rumit macam ini! Istirahatlah sesekali. Arkhan tidak akan dilanda kiamat jika kau duduk bersantai selama sejam.”
            Aku mendesah, tahu protesku tak akan mampu menembus kekeraskepalaan Frey. Jika ada satu hal yang ia warisi dari ayah kami selain kemampuan militer, maka itu adalah kepala baja lapis platina yang tak tertembus protes dan nasihat macam apa pun.
            “Baik. Aku bersantai. Kau puas?” aku menggertakkan gigi, lalu menghempaskan diriku di kursi di depannya dengan lengan bersidekap. “Tapi harusnya kau sadar, Frey. Berpikir itu perlu. Aku perencana, sementara kau pelaksana. Aku memakai otakku, dan kau memakai ototmu. Sepertinya itu adil.”
            “Sangat,” Frey mengangguk setuju. “Namun aku tidak gila kerja sepertimu. Aku tahu kapan harus berhenti. Aku tahu bagaimana cara menikmati hidup.”
            Aku mengangkat bahu, tidak menemukan bantahan yang sesuai untuk pernyataan Frey karena memang tidak memilikinya. Pernyataan itu memang kebenaran. Aku memang terlalu... serius. Kurasa itu kata yang tepat. Aku adalah tipe orang yang menganggap beristirahat sejenak adalah dosa besar dan sulit melewatkan waktu dengan tenang tanpa mengantisipasi apa yang kiranya terjadi di masa depan. Aku bukan pencemas... sama sekali bukan. Lebih tepat jika disebut sebagai orang dengan persiapan matang... kadang malah terlalu matang.
            Sementara Frey... dia berbeda seratus delapan puluh derajat denganku. Motto khas Frey adalah ‘kesusahan sehari cukup untuk sehari’―intinya, kita tidak usah mencemaskan apa pun yang belum terjadi. Nanti saja dipikirkan jika sudah terjadi. Bukannya gegabah, Frey hanya... santai. Kelewat santai, mungkin. Dia pemberani dan intuitif, namun tidak tolol. Frey bukannya tidak bisa berpikir―dia bisa menggunakan otaknya sama baik denganku, namun lebih suka menggunakan ototnya. Sama sepertiku, hanya saja berkebalikan.
            Dari segi karakter, kami memang berbeda meskipun kembar. Namun karakter kami saling menyeimbangkan dan saling melengkapi. Kelebihanku menutupi kekurangan Frey, begitu pula sebaliknya. Frey memberiku keberanian mengambil keputusan sulit, sementara aku menjadi remnya dikala dia terlalu bersemangat melakukan sesuatu. Kematangan pikiran digabung intuisi sempurna. Perencanaan terperinci dengan improvisasi terbaik dikala dibutuhkan. Kewaspadaan bercampur keberanian. Strategi hebat dengan pelaksanaan luar biasa. Semua itu―kombinasi kelebihanku dan Frey―telah berhasil membawa Arkhan sebagai salah satu kerajaan dengan cakupan wilayah terluas di Dunedain.
            “Cukup bicara soal politik, militer, dan hal-hal lain yang membosankan,” Frey mencondongkan tubuh ke depan dengan nada mengajak mengobrol. Meskipun kami jarang bertemu karena tugas masing-masing―aku di belakang meja sementara Frey bergerak di lapangan―aku dan Frey tergolong akrab. Kami biasanya meluangkan waktu berburu bersama atau sejenisnya untuk tetap menjaga hubungan baik. Bagaimanapun, setelah ayahku menjadi sakit-sakitan dan ibuku meninggal dunia, hanya Frey-lah keluarga yang kumiliki. Adikku satu-satunya yang paling berharga. “Aku ingin bertanya pendapatmu soal Putri Ashera dari Amacus―kerajaan itu pasti sudah benar-benar tunduk pada kita, sampai mau-maunya menyerahkan tuan puteri mereka pada kita sebagai upeti. Kau menyukainya, Arrane? Kau akan menikahinya? Dari yang kudengar dia pintar bermain harpa... Juga cukup cantik, kurasa.”
            “Untukmu sajalah, jika kau memang menyanjungnya setinggi langit seperti itu,” sinisku. “Aku  tidak berniat menikahinya. Dan jika kau juga tidak mau, maka sebaiknya kita pulangkan dia ke Amacus.”
            Frey memutar bola mata. “Aku sudah membawakanmu puluhan putri cantik dari kerajaan berbeda, namun kau tak pernah tertarik pada seorang pun di antara mereka. Tidak bisa begini terus, Arrane. Kau calon raja Arkhan. Kau tidak mungkin tidak memiliki pendamping.”
            “Memangnya kau bukan?” tanyaku, semakin lama semakin sinis. “Kau juga calon raja, Frey. Sesuai kesepakatan kita, kita akan memerintah bersama. Arkhan akan memiliki dua raja, yang berarti kau pun harus mencari pendamping, sama sepertiku. Aku tidak ingin menikah jika kau tidak menikah duluan.”
            Frey mendengus. “Seakan kesepakatan itu akan berjalan saja. Para penasihat kerajaan tak akan menyetujuinya. Mereka pasti akan mengatakan bahwa mustahil menggerakkan satu tubuh dengan dua otak―sama mustahilnya dengan memimpin satu kerajaan dengan dua raja. Dan para penasihat itu adalah orang-orang berpengalaman di bidangnya. Semua sudah memperoleh penghargaan dan medali tersendiri...”
            “Yang meresmikan ketololan mereka,” tambahku kalem. “Sudahlah, Frey. Sekarang kau yang harus bersantai. Sejak kapan kau membiarkan urusan birokratis konyol macam itu meracunimu? Kau bahkan tak peduli pada peraturan istana. Kuberitahu. Jika kau atau aku memerintah sendiri, maka Arkhan tak akan bertahan lama. Kerajaan ini butuh keseimbangan. Bukan sekedar otot atau otak saja, namun keduanya. Asas kesetaraan. Paham?”
            “Paham, Yang Mulia,” sindir Frey, namun kali ini sambil tertawa. “Aku tak menyangka kau benar-benar memegang teguh janji masa kecil kita.”
            Aku mengangguk khidmat. “Sebenarnya itu adalah bagian dari kebodohan dan kecerobohan masa mudaku. Namun janji adalah janji, dan aku senang pernah membuat janji seperti itu.”
            Frey tertawa lagi, dan tanpa harus bertukar kata, kami sama-sama tahu bahwa yang ada di otak masing-masing adalah pikiran tentang janji masa kecil kami... Janji yang menjadi perekat dan penghubung kami, tak peduli seberapa jauh pun jarak yang membentang di antara kami.
            Kami akan selalu bersama-sama. Tangan dan kepala. Hati dan jantung. Tak ada yang mengungguli satu sama lain, tak ada yang berusaha saling menguasai. Kami adalah saudara, dan akan tetap seperti itu untuk selamanya. Kami akan saling menjaga, saling percaya, dan menganggap satu sama lain setara.
            Itulah janji kami.
            Tidak diucapkan dengan kalimat sebagus itu―dulu lebih kacau dan terdengar mirip sebuah lagu aneh tentang betapa kau menyayangi saudaramu. Namun, kami merevisinya bersama saat tumbuh remaja, dan jadilah seperti itu. Meskipun berawal dari janji masa kecil yang naif dan kekanakan, aku dan Frey sama-sama memegangnya dengan teguh. Karena itulah aku tidak mau menjadi raja sendirian, meskipun dilihat dari segi  usia―yang lebih tua semenit―secara notabene akulah yang berhak memegang tampuk kekuasaan. Namun aku tidak mau, karena itu akan menghapus aspek setara di antara kami. Lebih baik aku tidak usah bertakhta sekalian dibandingkan menjadi raja seorang diri―melanggar semua janjiku pada Frey dengan meletakkan status raja di dalam hubungan kami.
            “Oh, ya,” Frey tiba-tiba memotong lamunanku dengan berbicara dengan nada serius―membuatku kaget karena ‘serius’ bukanlah gaya khas Frey. “Sudahkah kau mendengar tentang  kasus hilangnya kepala pertahanan Andelamir―salah satu kerajaan taklukkan kita?”
            “Kepala pertahanan Andelamir? Phobos Eudebios?” tanyaku memastikan. Aku baru mendengar soal ini sekarang. Phobos sendiri, selain berperan sebagai kepala pertahanan Andelamir, juga merupakan penasihat ayahku ketika masih aktif memerintah Arkhan.
            “Ya. Kejadiannya baru tadi pagi. Aku lupa memberitahukannya padamu tadi. Phobos menghilang, Arrane. Dia lenyap dengan misterius di kediamannya. Semua pengawal kediamannya ditemukan mati dengan leher terpenggal, meskipun tanpa darah setitik pun.”
            “Tanpa darah?” ulangku kaget. “Bagaimana bisa? Jika kau memotong leher seseorang, maka darahnya pasti akan bercucuran karena secara biologis...”
            “Aku tahu, aku tahu,” Frey buru-buru memotong. “Bagaimanapun aku sudah cukup sering memenggal leher lawan-lawan Arkhan, dan belum pernah melakukannya dengan bersih tanpa darah sedikit pun. Namun itulah kenyataannya. Aku pun tak akan percaya jika tidak melihatnya sendiri, Arrane. Seakan darah mereka langsung dibuat membeku begitu kepala mereka terpisah dari tubuh. Dan itu baru satu segi anehnya.”
            “Memangnya masih ada segi aneh lain?”  
            Frey mengangguk, lalu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan beberapa kristal es yang berkilau indah diterpa cahaya matahari. Dilemparkannya kristal es itu ke meja dengan kasar, menimbulkan bunyi berkelotak keras. Meskipun lemparan Frey cukup kasar, kristal-kristal es itu tidak pecah atau lecet barang sedikit pun.
            “Kristal es ini ada di kediaman Phobos. Aku menemukannya tadi pagi, memenuhi kamar tidurnya sehingga menyerupai gua kristal. Aku membawanya beberapa untuk kutunjukkan padamu.”
            Segera saja, otakku menangkap sesuatu yang ganjil pada perkataan Frey. “Kau bilang tadi pagi? Bagaimana bisa kristal-kristal es itu bisa bertahan tidak cair di cuaca Arkhan yang sepanas ini?”
            Frey mengangkat bahu. Sorot bingung di matanya terefleksi pula di mataku. “Sama seperti keanehan pertama, aku pun tidak memiliki penjelasan logis untuk keanehan kedua ini.”
            Aku menggigit bibir. “Lebih baik kita tuntaskan masalah ini secepatnya, Frey. Kerahkan satu pasukan elite terbaik untuk mencari Phobos, lalu selidiki soal kristal-kristal es ini. Entah kenapa aku mendeteksi adanya masalah.”
           
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar