Minggu, 01 Mei 2011

Red Avalanche the 2nd Part

Crystal Whitelight’s – Snow White Queen
             Aku memandang mahakaryaku dengan serius, meninjaunya dari berbagai sudut untuk mencari cacat celanya. Sejurus kemudian, ketika tidak menemukan apa yang kucari, senyuman puas mengembang di bibirku. Sempurna. Benar-benar sempurna.
            Mahakaryaku adalah sesosok laki-laki gemuk separo baya yang membeku dalam es abadi, yang kuculik dengan mudah dari bawah perlindungan pengawal-pengawal lemahnya. Sudut-sudut es abadi tersebut―yang sudah kupahat dengan luar biasa sempurna sehingga konturnya menyerupai manusia di dalamnya―memantulkan tujuh warna pelangi saat diterpa cahaya matahari. Ekspresi ketakutan dan shyok yang terpatri di wajah laki-laki itu menambah nilai estetik maha karyaku.
            Lelaki ini belum mati. Dia masih hidup, namun kukurung begitu saja dalam esku. Tak ada yang bisa mengeluarkannya dari penjara esku yang melapisi badannya, kecuali aku sendiri. Jika ada yang nekat mencoba memecahkan esnya, maka yakinlah bahwa tubuh lelaki ini akan ikut hancur bersama esku. Dan jika ada yang bertanya kapan aku akan mengeluarkannya dari es, maka jawabannya adalah ketika aku sudah membalaskan dendamku. Agar lelaki itu bisa merasakan sakitnya hidup di dunianya yang sudah kuhancurkan, sama seperti ketika ia menghancurkan hidupku dulu.
            “Masih kurang, masih kurang,” dendangku, lalu mengatur posisi ‘patung’ esku dengan sempurna. “Terasa agak sepi jika hanya kau sendiri yang menghiasi kabinku. Aku butuh ‘patung-patung’ lain... Siapa giliran berikutnya? Sang raja tua? Atau pangeran kembar mereka? Siapa? Siapa?” aku bergumam sendiri. Namun aku tidak sempat membuat keputusan karena mendadak saja pintu kabinku yang terbuat dari es diketuk dengan alat pengetuk khusus yang menimbulkan bunyi berdenting yang khas.
            “Nona Crystal! Claudanum menghadap!”
            “Masuklah, Claudanum,” perintahku.
            Pintu kabinku mengayun terbuka, lalu menampakkan sosok lelaki tegap berambut botak yang memakai mantel bulu Rhowan―hewan buas padang es dengan bulu tebal hitam sehalus kapas. Rhowan sendiri sulit dibunuh karena memiliki delapan cakar mengerikan dan dua taring panjang, sehingga bisa dibayangkan seberapa tangguh Claudanum yang sudah berhasil menghabisi dan mengulitinya.
            “Lapor, Nona!” Claudanum membungkuk. “Kapal bajak laut Zhaer sudah kami taklukkan! Harta mereka dirampas, dan seluruh awak kapal yang masih hidup kami jadikan budak!”
            “Bagaimana dengan persenjataannya?”
            “Sudah dirampas juga. Sekarang kita memiliki dua meriam tambahan dan satu armada kapal lengkap dengan pelontar mesiu.”
            Aku bersiul kagum. “Hebat sekali! Dengan modal itu, kita siap menaklukkan kapal-kapal bajak laut lain dan menjadi penguasa lautan! Callisto akan menjadi satu-satunya kapal yang berkuasa, dan barang siapa yang mencoba melawan kita akan mati. Ya. M-A-T-I,” aku terkikik. “Arkhan boleh memiliki seluruh daratan, namun kita akan menjadi penguasa lautan. Jika saat itu sudah tiba, mungkin kita kelak bisa menguasai daratan juga. Hmmm...”
            “Lalu kapan Callisto diberangkatkan, Nona? Kapal bajak laut Tarvala menunggu untuk ditaklukkan.”
            “Segera... secepat mungkin. Namun sebaiknya kita merapat dulu sebentar ke Icelandish. Mengambil logistik dan lainnya...,” aku berkata dengan nada melamun. “Namun kurasa aku akan tetap berada di Icelandish, tidak ikut dalam aksi penaklukan kali ini. Semua wewenang terkait Callisto kuserahkan padamu, Claudanum. Ada hal lain yang harus kuurus...”
            “Nona tidak ikut?” Claudanum bertanya kaget.
            “Ya. Aku harus... melakukan sesuatu. Sudah dimulai, Claudanum. Aku harus menuntaskan apa  yang sudah kumulai,” aku mengedikkan kepala pada ‘patung’ es di pojok kabinku. Claudanum tidak mengerti maksudku, namun seperti biasa dia mengangguk patuh sebelum melangkah keluar dari kabinku. Begitu Claudanum pergi, aku segera menghenyakkan diri di lantai kabinku yang terbuat dari es, memulai perenungan rutinku terhadap nasib yang seakan menghianatiku.
            Aku, Crystal Whitelight, adalah seorang perompak sekaligus penjarah. Kapalku, Callisto, adalah murni buatanku. Mahakaryaku yang lain. Tidak seperti kapal-kapal perompak lain, Callisto tidak terbuat dari kayu. Seluruh bagiannya, mulai dari geladak hingga lambung kapal, terbuat dari es yang mengkristal. Meskipun terbuat dari es, kapalku tidak akan pernah mencair, tidak licin, dan tidak dingin. Esnya adalah hasil dari sihirku sendiri, sehingga tekstur dan suhunya bisa kusesuaikan sesuka hatiku. Satu-satunya bagian kapal yang tidak terbuat dari es adalah layarnya―layar Callisto masih terbuat dari kain, dengan simbol dua belati yang bersilangan.
            Callisto sendiri memiliki persenjataan lengkap. Secara khusus, aku sudah mendesain pelontar balok es yang menggantikan pelontar batu biasa, penembak serpihan es yang terbukti efektif membunuh awak kapal lawan, serta meriam dengan selongsong es, yang mana fungsinya tak jauh berbeda dengan meriam biasa. Callisto adalah kebanggaanku, mahakarya yang kuciptakan dengan sihir esku.
            Selain kapal, perbedaan utama para perompak Callisto dengan perompak-perompak lain adalah kami memiliki markas di darat, yaitu di padang salju Icelandish di Dataran Utara. Icelandish kupilih sebagai markas karena, meskipun tandus, tempat itu luas dan tidak terjamah oleh pasukan militer kerajaan mana pun. Pernah sepleton pasukan dari Amacus―kerajaan kecil yang berada di batas antara Dataran Selatan dan Dataran Utara―mencoba mengambil alih Icelandish. Namun para pasukan itu tak pernah kembali. Mereka menjadi salah satu dari patung es koleksiku yang kuletakkan dengan artistik di perbatasan Icelandish. Sejak saat itu, tak ada lagi kerajaan di perbatasan maupun di utara yang berani mencoba mengusik Icelandish―kerajaan-kerajaan di selatan sendiri letaknya terlalu jauh dari Icelandish, sehingga kami bisa dikatakan aman total.
            Namun, menjadi perompak bukanlah profesi yang sudah kutekuni sejak dulu. Bukan pula sesuatu yang menjadi jalan hidup sejatiku. Semua kenistaan ini... ini bukanlah sesuatu yang memang ditakdirkan untukku. Dulu sekali, di suatu masa, aku pernah memiliki kehidupan yang lebih baik. Namun, orang-orang dalam hidupku yang sempurna itu membuangku dan mendepakku demi alasan egois mereka. Sudah delapan tahun berlalu sejak aku dibuang, dan sudah terlalu lama aku menunda-nunda aksi pembalasanku.
            Aku yang dulu adalah... sudahlah. Itu masa lalu. Meratapinya tak akan mengubah apa-apa. Intinya, aku menjadi perompak hanya karena inilah profesi yang sanggup membantuku mencapai tujuan utamaku. Batu loncatan terbaik yang kumiliki untuk mengumpulkan persenjataan dan armada yang dapat memuluskan misiku.
            Balas dendam.
            Itulah tujuanku.
            Beberapa orang mengatakan bahwa membalas dendam tak akan menghasilkan apa pun. Membalas dendam hanya mampu melegakan emosi negatif yang ada di hati seseorang, selama beberapa saat, namun tidak benar-benar bisa menuntaskannya. Namun aku tidak peduli. Tahu apa orang-orang itu tentang emosi negatif yang terbenam dalam hatiku? Tahu apa mereka tentang intensitasnya... seberapa besar tekanan yang ditimbulkan oleh dendam menggelegak ini di dalam hidupku? Tidak ada yang tahu. Yang tahu hanya orang yang mengalaminya. Hanya aku semata.
            Sekalipun orang-orang itu ternyata benar... bahwa emosi negatif itu tak akan pernah bisa dituntaskan dengan membalas dendam... aku tak akan peduli. Aku butuh apa pun yang sanggup melepaskanku dari rasa sakit dan amarah yang sudah bercokol di hatiku selama delapan tahun terakhir, meskipun hal itu ternyata hanya merupakan pelegaan sementara saja. Rasanya terlalu sakit... terlalu menyiksa untuk tetap menanggungnya tanpa sekali pun berusaha melegakannya.
            Aku sudah kehilangan semua milikku dan jangan salahkan aku jika mencoba merebutnya kembali.
            Itulah satu-satunya alasan yang kujadikan pembenaran atas semua tindakanku. Agar semua kegilaan yang kulakukan sampai sejauh ini terasa masuk akal. Agar semua kekejamanku terasa sedikit manusiawi.
            Hidupku berubah menjadi sebegini keras, dan aku harus mengerasinya balik untuk tetap bertahan.
            Karena hanya dengan cara itulah aku bisa tetap hidup. Membunuh atau dibunuh, menyiksa atau disiksa. Untuk keduanya, aku lebih baik memegang opsi pertama.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar