Senin, 02 Mei 2011

Red Avalanche the 3rd Part (dibuat dengan kondisi mual karena maag)

Hay all... Udah nongol lagi nih, the next partnya. dibaca ya... kasianin pengarangnya yang menderita kaku tangan dan mata panda karena kebanyakan melototin laptop.


Frey Blackenshield’s – Cave in
            Aku berguling resah di tempat tidurku. Sepreiku dengan sekejap menjadi kusut, sekusut pikiranku saat ini. Mataku menatap langit-langit kamarku, sementara pikiranku berkelana pada pembicaraan dengan Arrane tadi.
            Aku setuju dengan Arrane kali ini.
            Memang akan datang masalah. Masalah yang bukan sekedar masalah, melainkan bencana. Bencana bagi kami. Bencana bagi Arkhan. Aku tahu itu. Aku bisa mengendus baunya dan melihat bayangannya samar-samar. Intuisiku belum pernah keliru, dan jelas tidak ada alasan untuk meragukannya kali ini. Namun untuk kali ini saja, aku tidak ingin intuisiku menjadi kenyataan. Maksudku, siapa yang butuh masalah atau bencana tambahan dalam hidup mereka? Mungkin ada, namun yang jelas bukan aku.
            Andai saja aku bisa menebak siapa yang berada di belakang masalah lenyapnya Phobos. Atau apa.
            Sebelum memberitahu Arrane, aku memang sudah menyuruh sekelompok pasukan untuk mencari Phobos. Menurut pasukanku, apa yang terjadi pada Phobos hanyalah soal dendam pribadi padanya―Phobos kadang-kadang agak menyebalkan, sehingga wajar-wajar saja jika ada yang ingin menghabisinya. Aku sendiri juga agak heran kenapa dia bisa bertahan hidup selama itu. Kristal es dan pembunuhan tanpa darah itu memang aneh, namun prajurit-prajurtiku berpendapat bisa saja orang yang membenci Phobos menyewa tukang sihir untuk melakukannya. Bukan hal yang penting. Sesuatu yang terjadi pada Phobos adalah kehendak alam. Semacam pembuktian pepatah ‘lakukan hal yang jahat, maka kau akan menerima hasil yang sama jahatnya dengan perbuatanmu’.
            Namun menurutku tidak begitu. Aku bisa melihat hal lebih besar yang bersembunyi di balik persoalan lenyapnya Phobos, meskipun aku tidak tahu hal besar apa itu. Arrane memang benar bahwa lenyapnya Phobos terkait dengan suatu masalah, namun aku pribadi berpendapat kata ‘masalah’ agak kurang tepat. Intuisiku mengatakan bahwa ‘bencana’ jauh lebih cocok. Dan ketidaktahuan itu menggangguku. Membuatku gatal ingin mencari tahu soal itu, meskipun tidak tahu harus memulai darimana.
            Sesuai instruksi Arrane, aku sudah memeriksa sendiri kristal-kristal es yang kutemukan di kediaman Phobos. Aku bahkan sudah memerintahkan alkemis terbaik Arkhan untuk membantu memeriksa keanehan kristal es itu. Namun hasil yang kami dapatkan nihil, selain fakta bahwa kristal es itu diciptakan oleh seseorang yang menguasai sihir es level atas. Tapi  fakta itu malah membawa kami semakin jauh dari pencerahan―cenderung menjadi penggelapan.
            Faktanya, hanya elf yang menguasai sihir es level atas. Manusia bisa melakukannya, namun hasilnya tak akan sedahsyat itu. Es sihiran elf bersifat permanen dan susah dihancurkan, sementara es sihiran manusia akan meleleh dengan cepat dan rapuh. Dan kristal es yang kutemukan cenderung menyerupai karakteristik es ciptaan elf, jujur saja. Aku sudah meletakkannya di panas terik gurun barat, namun kristal es itu tetap utuh. Dan aku sendiri membutuhkan segenap upaya untuk menghancurkan salah satunya dengan  martil.
            Fakta itu, ditambah dengan fakta bahwa hanya elf-lah yang bisa melakukan sihir es level atas, telah mengarahkanku pada sebuah kesimpulan: siapa pun yang menculik Phobos dan membantai pengawalnya berasal dari kaum elf.
            Kesimpulan bagus, andai saja tidak dihalangi oleh fakta mutlak ketiga: elf adalah kaum cinta damai yang tidak pernah membunuh makhluk hidup mana pun, kecuali tumbuh-tumbuhan. Dan ini berlaku bagi semua elf, tanpa pengecualian. Lagipula, apa motif mereka menculik Phobos dan membunuhi pengawalnya? Demi beberapa karat intan dan segerobak gundik Phobos? Gila. Asumsi tertolol yang pernah diciptakan. Selain itu, memangnya Phobos pernah berurusan dengan elf? Kurasa tidak. Hidup Phobos hanya berkisar pada perang, gundik, dan intan-intan koleksinya. Elf tidak termasuk dalam tiga kategori itu.
            Lalu, jika bukan elf, siapa yang melakukannya? Atau bahkan apa?
            Aku memikirkan asumsi-asumsi lain, yang semakin lama semakin tolol dan tidak masuk akal. Solusi dan pencerahan semakin lama terasa semakin jauh, sehingga aku mendesah frustasi dan memutuskan untuk berhenti berpikir sejenak. Berpikir adalah keahlian Arrane, bukan aku. Aku tidak suka memikirkan masalah yang tidak jelas ujung pangkalnya selama berjam-jam, tidak seperti Arrane yang sudah menjadikannya sebagai hobi. Aku dan Arrane memang kembar, namun agak menakjubkan melihat betapa berbedanya kami, utamanya dalam hal pola pikir. Tapi sudahlah. Aku adalah aku, Arrane adalah Arrane. Lagipula, jika semua orang menjadi pemikir, lantas siapa yang menjadi pelaksana?
            Pikiranku sedang berkelana tidak pasti―antara memikirkan soal lenyapnya Phobos dan pemikiran sinting yang mengandaikan aku dan Arrane bertukar karakter―ketika muncul ketukan samar di pintu kamarku.
            “Masuk saja,” perintahku.
            Rupanya yang datang adalah seorang dayang-dayang perempuan yang sudah uzur. Dia menyampaikan pesan padaku dengan suara bergetar.
            “Pangeran Frey, Putri Ashera dari Amacus ingin bertemu dengan Anda... Sang putri menunggu di taman.”
            “Suruh dia masuk... eh... tidak. Tunggu. Biar aku saja yang mencarinya sendiri. Silakan beristirahat, Ibu Zhelma,” kataku pada si dayang-dayang tua, tidak tega menyuruh-nyuruhnya lebih lanjut.
            “Baik, Pangeran,” Ibu Zhelma membungkuk padaku. Aku mengikutinya keluar kamar, lalu bergegas menuju taman di luar paviliunku. Taman itu tidak begitu besar namun ditata dengan indah. Bunga-bunga cantik dengan kelopak berwarna-warni tumbuh mengelompok di kaki cemara dan pinus. Hamparan aster terlihat menyembul di antara rerumputan hijau yang subur. Beberapa batu besar dengan bentuk yang dipilih menyerupai kursi diletakkan acak di taman,  di bawah keteduhan cemara atau willow. Di salah satu kursi batu tersebut, duduk Putri Ashera dari Amacus. Dia duduk dengan pose kaku yang anggun―kedua tangan terlipat di atas pangkuan dan punggung tegak sempurna. Wajahnya hampa dan tanpa ekspresi―lebih menyerupai topeng cantik daripada wajah manusia.
            “Selamat sore, Putri,” sapaku pada Ashera. Aku berencana akan memulangkannya ke Amacus besok―toh Arrane sudah menegaskan bahwa dia tidak tertarik sama sekali pada sang putri, walaupun Arrane belum pernah bertemu Ashera sekalipun sejak gadis itu tiba disini.
            Ashera mendongak. Wajah cantiknya yang sebelumnya tampak mati mendadak menjadi lebih manusiawi.
            “Pangeran Frey,” Ashera bangkit berdiri dan memberi hormat dengan membungkuk sedikit. “Senang Anda mau berjumpa dengan saya.”
            “Tidak usah formal begitu,” aku mengibaskan tangan cepat. “Panggil Frey saja, dan aku akan memanggilmu Ashera. Setuju?”
            “Baiklah,” Ashera mengangguk.
            “Bagus. Lalu, apa yang mau kau bicarakan denganku, Ashera?”
            Untuk pertama kalinya, sebentuk emosi nyata muncul di wajah Ashera. Emosi kalut dengan intensitas tinggi. Emosi itu tampak jelas terukir di wajahnya yang pucat dan terpancar dari mata birunya yang besar. Ketika menjawab, suara Ashera agak bergetar. “Ini soal hilangnya Phobos Eudebios, kepala pertahanan Andelamir. Aku tidak bermaksud menguping, namun tanpa sengaja aku mendengar dayang-dayang di kediamanku membicarakannya. Dari cerita mereka, Phobos Eudebios lenyap begitu saja di kediamannya, dan satu-satunya bukti yang ditemukan disana adalah kristal es.”
            “Dayang-dayang disini gemar bergosip, rupanya. Kurasa aku harus memperingatkan mereka agar lebih rapat menutup mulut. Tapi aku tidak menyalahkan mereka―berita ini sudah terlanjur bocor ke khalayak,” ujarku, lebih pada diri sendiri daripada pada Ashera. “Lalu, apa yang ingin kau bicarakan? Kau ingin bertanya soal Phobos?”
            “Tidak,  tapi aku ingin memberitahu,” tegas Ashera. “Tanpa bermaksud sok pintar atau apa, namun dulu aku pernah melihat kejadian yang serupa dengan ini. Terjadinya di Amacus. Saat itu kerajaan sedang...”
            “Tunggu,” aku segera menghentikan ucapan Ashera. “Jika informasinya sepenting itu, maka kita harus berdiskusi dengan kakakku juga. Arrane biasanya jeli melihat detail yang terlewat olehku. Dia harus ikut mendengar ceritamu juga.”
            Ashera segera saja tampak ngeri―hilang sudah topeng tanpa ekspresi yang tadi dikenakannya. “Tidak... tidak usah. Pangeran Arrane sudah menegaskan dengan jelas bahwa dia tidak mau bertemu denganku dan...”
            “Dan dia harus,” potongku sekali lagi. “Arrane harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ayo, Ashera. Kubawa kau ke kediaman Arrane.”
            Ashera tampak enggan, namun akhirnya mengangguk setuju di bawah tatapan memaksaku. Bersama, kami berjalan ke kediaman Arrane yang terletak di istana utama...

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar